Kamis, 05 Juni 2008

Kubelah Bulan Jadi Dua

Kubelah bulan jadi dua
               Bintang jadi empat
               Galaksi jadi delapan

Untuk disematkan ke dada mu,
Agar terang mengubah seluruh darah dan
Luruh ke arah pusaraku

Kubelah lautan jadi dua (seperti Musa)
               Karang jadi empat
               Gelombang jadi delapan

Kusumbang padamu yang hampir padam
Supaya kau punya mimpi
Dan kau tak ditinggal mimpi


(dari HORISON; Lupa penulisnya
tapi aku jatuh cinta dengan puisi sederhana itu)

Senja Sendu Sedan



Senja sembab sendu. Mendung tanpa sang surya hangat memeluk. Lembayung pun tak serona sore biasa. Letih dan lelah hati ini menghirup udara dari balik celah-celah kamar yang suram tanpa cinta kasih dan membalut tubuh sepi ini. Beban demi beban tehantam terus pada bahu mungil yang dipaksa bertahan oleh keadaan. Sampai kapan kebebasan dapat ku genggam? Rintihan hati menjerit, melenguh dan menghentak keras ingin keluar. Relung hati ini terlalu sesak penuh oleh gemanya yang tak mampu menembus labirin sang waktu. Aku hampa..! aku jalang yang merana. Dalam kungkungan setan munafik yang bernama keluarga. Keluarga yang haus akan kesempurnaannya. Dan sampai kapan pun kesempurnaan itu tak akan terwujud. Sebab kehasuan nafsu manusia yang kurang-kurang dan terus kekurangan. Yang ingin tambah-tambah dan bertambah.

Momok itu bernama teror. Aku semakin takut. Semakin tercengkeram. Aku tak mau keluarga ini. Aku ingin seperti udara, bebas tanpa batas! Udara yang tak akan pernah memiliki kaki yang bisa di pasung oleh intimidasi dan deskriminasi. Aku ingin seperti angin yang bisa berhembus kemana saja ku mau. Kemana saja. Utara, selatan, timur dan barat dapat ku kuasai dengan mudah. Bisa ku jelajahi dengan bebas tanpa terbeban.

Aku harus bicara..harus! dan bergerak. selalu itu yang bisa aku gema kan. Hanya dalam hati. Akh mengapa harus ada nurani? meski semua orang singkirkan hal ini tapi tetap saja, gema itu muncul dan selalu menghentak-hentak. Set Me Free! Ku berhak untuk itu!

Ide..ide..ide..ide...bergelut dan bergelayut dengan waktu. Sedang energi ku sudah hambis luluh lantah oleh beban ini, itu. Oleh dekapan sang momok deskriminasi, intimidasi, dan maskulinisme. Yang tak senang jika aku cerdas, menjadi pintar bahkan akan melebihi mereka. Mereka takut terkungkung pada selangkangan. Hanya mengintip dari celah ketiak saja yang mereka bisa. Aku ingin bebas..bebas bebas dan bebas.

Rabu, 14 Mei 2008

Menanti Rasa


O Dinda, Dindaku Ayu

Mengapa dikau bernafsu meraih daku

Padahal daku tak punya apa

tak punya harta… cuma pelita

O Dinda, Dindaku Ayu

Mengapa dikau t’rus menatap daku

Padahal daku tak punya rupa

tak punya suka…. cuma derita

O Dinda, Dindaku Ayu

Mengapa dikau berani mendekap daku

Padahal daku tak punya makna

tak punya warna…. cuma sukma.

O Dinda, Dindaku Ayu

Mengapa dikau tega matikan pelita daku

Padahal daku tak punya cahya

tak punya kata…. cuma pasrah

menanti rasa dilumat dosa birahi dinda

By.Aldi
(puisi titipan (lagi))



Jumat, 09 Mei 2008

NURANI


                                                                 
Dalam kesepian gubukku ini
Timbul Tanya di hati
Mengapa kita jadi miskin rasa
Miskin karsa dan cinta

Dalam bening malam ini
Timbul Tanya lagi
Mengapa kita jadi miskin nurani
Miskin simpati dan empati

Padahal, di luar sana
Juta tangan bergetar minta
Juta mata pasrah menanti
Siraman nurani dan empati kita

Bukankah mereka
Rakyat kita juga
Rakyat jelata penuh nestapa
Karena miskin dan bencana ?!

Tak kuduga
Di puncak renungan ku ini
Dinding gubukku diketuk, entah siapa :
"Permisi, permisi !"

Perlahan pintu kubuka, SIAPA YA?
Aneh, tiada insan bentuk rupa
Cuma rintih suara menyapa :
Masihkah tersisa nurani kita?!

By.Aldi
(puisi titipan)





Minggu, 24 Februari 2008

" Bunda!, Senyumku Manis Sekali"


Hasna Mariyam
(kakak Hasna)
( 2th 6 bulan )

Mutia Anzalna Ramadhani
( Adik Muti/9 bln )

Alivia Liza Umami
(Kakak Liza/6 th )
All my inspiration are Above
P.S I Love You

"Bau Kehidupan"

Namaku Slamet, sudah dua tahun ini aku menetap di kota Depok. Aku datang ke kota ini pada saat umurku 21 tahun. Saat itu aku memberanikan diri untuk hijrah ke Jakarta. Apalagi alasannya, kalau bukan untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Di tempat asalku Lampung, aku hanya kerja serabutan. Pekerjaanku yang terakhir disana adalah mangkal disekolah SD Impres dekat kelurahan lalu menggambar kartun tokoh-tokoh pahlawan super seperti Superman dan Spiderman dikertas berukuran A4, dan kujual seharga 200 rupiah. Saat itu aku cuma bermodalkan spidol dan kertas, lalu nongkrong di dekat pintu gerbang sekolah. Kubuat plang pemberitahuan seadanya, "SATU LUKISAN RP 200". Yang dimaksud dengan lukisan itu tidak lain adalah gambar buatan tanganku yang sudah terjejer rapih didepanku. Hari pertama, baik anak-anak maupun orang yang lewat depan SD tidak ada yang mengerti maksudku. Jadilah aku hanya terdiam di dekat gerbang sambil melihat anak-anak sekolah itu menyerbu bakso tusuk yang berwarna abu-abu kehitaman, yang sebelum dimakan harus dicelupkan dahulu ke dalam saos berwarna textil. Serbuan di sebelahnya juga tidak kalah heboh, si-abang perjual es warna-warni yang hanya berasa sitrun dan tanpa ijin Depkes terlihat kewalahan melayani mereka.


Namun dihari-hariku berikutnya aku lebih beruntung. Ketika anak sekolah itu sedang ramai-ramainya menyerbu bakso tusuk rasa textil dan es warna-warni tanpa ijin Depkes, aku menggambar dengan penuh keyakinan. Keyakinan bahwa akan ada anak yang menghampiriku dan membeli hasil karyaku. Dan benar juga, seorang anak lelaki dengan hidung ditutupi ingus kental berwarna hijau berjongkok dihadapanku. Ditangan anak itu tergenggam es warna merah yang sesekali disedotnya. Tak lama kemudian sudah ada empat anak lainnya didekat anak itu. Sekilas sepertinya mereka bersahabat, karena es yang mereka pegang warnanya sama-sama merah. Padahal es itu memiliki enam warna mencolok yang berbeda. Aku tidak berhenti menggambar dengan spidol warna hitamku dan berusaha membuat mereka terkesan dengan gambarku. "Bang buatin spidermen yang lagi terbang ngelewatin gedung dong" seorang anak dengan ingus hijaunya berkata kepadaku. "Harganya 200, nanti diwarnain sendiri biar bisa jago gambar kayak abang" kataku, berharap anak itu masih punya sisa uang saku dikantongnya. Hari itu aku beruntung, karena akhirnya aku berhasil mengantongi 8000 rupiah hasil usahaku menjual karya tanganku.
Usaha itu kujalani selama lima bulan, paling banyak penghasilanku sekitar 15.000 rupiah. Kadangkala uang itu kuberikan pada kakakku yang nomor 3. Selama ini, aku memang menumpang dirumahnya, karena dari semua kakak-kakakku dialah yang kuanggap paling berada. Kerika aku kelas satu SMP, bapakku meninggal. "Masuk angin duduk", begitulah kata orang-orang disekitarku menjelaskan peyebab kematian bapakku. Dua tahun kemudian, ketika aku sudah mengantongi ijazah SMP emakku menyusul. Beliau meninggal karena TBC. Jadilah aku, bungsu dari 6 bersaudara ini hidup dari belas kasihan kakakku. Kakakku yang ke-3 ini menikah dengan seorang peternak ayam petelur, karena suaminya sudah berpengalaman jadi penghasilannya cukup lumayan. Dirumahnya aku berusaha menjadi adik yang baik, aku membantu kakakku membersihkan kandang, mencuci piring, merapihkan rumah sampai mencuci pakaian anaknya yang bau ompol. Kerika aku memutuskan untuk pergi ke Jakarta, kakakku menangis. Keponakanku yang berusia 3 tahun dan masih sering mengompol-pun ikut menagis melihat ibunya menangis. "Jangan tinggalin solat ya, le" begitulah pesan terakhirnya. Dengan bekal sebagian hasil usaha gambarku sebesar 300 ribu dan ditambah dengan uang dari kakakku sebesar 250, jadilah aku berangkat ke Jakarta via bus antar propinsi.


Hingga hari ke-4 berkeliling di Jakarta, aku belum juga mendapatkan pekerjaan. Padahal uang di kantongku, eh maksudku uang yang kusimpan di dalam kaos kakiku hanya tinggal 275 ribu. Saat itu aku hanya duduk di sebuah stasiun kereta api. Kulihat sekeliling, untuk memastikan dimana aku terdampar saat itu. Kulihat keatas, terlihat sebuah papan nama bertuliskan "Duren Kalibata". Tulisan pada papan nama itu tidak terlihat jelas karena ada coretan diatasnya. Aku membayangkan usaha orang yang mencoret papan nama yang digantung diatas ketinggian 2 meter itu. Pastilah si pelakunya digendong dulu oleh temannya, batinku dalam hati. Dari kejauhan kulihat sebuah kereta api datang mendekat, melihat sebagian bangkunya kosong akhirnya kulangkahkan kakiku ke dalamnya. Di dalam kereta ada seorang petugas pemeriksa karcis datang mendekat, dan aku kelabakan ketika kusadari aku lupa beli karcis. Hari-hariku belakangan ini begitu melelahkan, pastilah karena itu aku lupa membeli karcis.


"Karcis mas", laki-laki gemuk separuh baya di depanku berkata tanpa ekspresi.
"Maaf pak, saya lupa beli karcis" kataku pada pria berseragam itu dengan nada gemetar.
"Kamu dari mana?" ekspresinya penuh ancaman.
"Lampung pak."
"Maksudnya, kamu tadi naik dari stasiun mana?"
"Kalibata Duren, pak."
"Oo, Duren kalibata. Kamu nggak bisa gratisan begitu. Ini kan bukan kereta mbah buyutmu, kamu ikut saya nanti sampai Manggarai."
Aku mengangguk perlahan tanda setuju, di dada kirinya lihar sebuah nama "Samijo". Lalu lelaki itu duduk di sudut gerbong, kebetulan gerbong yang kunaiki adalah gerbong terakhir. Dari kantongnya dia mengeluarkan uang recehan dan ribuan yang terkuel dan memasukkannya ke dalam kantong kresek. Dalam ketakutanku, yang terlintas dipikiranku adalah dia baru saja membawa uang hasil membongkar celengan anaknya.


Disebuah stasiun yang bernama Manggarai, aku turun bersama si-Samijo. Aku dibawa kesebuah ruangan. Disana duduk beberapa orang yang berseragam seperti Samijo, dan ditengah ruangan kulihat seorang polisi yang sedang duduk diatas meja tertawa terbahak-bahak dengan orang berseragam seperti Samijo yang ada dihadapannya. Samijo menyuruhku duduk di kursi didekat pintu, setelah itu dia berjalan menghampiri polisi itu. "Ya Allah, aku jangan sampe dipenjara ya Allah" begitulah doaku dalam hati. Tak lama kemudian polisi itu sudah ada di hadapanku. "Sudirman" begitulah nama polisi tersebut. Nama polisi itu bagus sekali, Sudirman adalah seorang jendral besar. Tapi gaya polisi itu menakutkan, tidak seperti sang jendral yang kukenal lewat buku sejarahku ketika aku sekolah dulu.
"Kamu tau nggak, kamu baru saja melakukan pelanggaran"
"Maaf pak, saya kelupaan. Saya baru dari Lampung, jadi saya masih binggung sama Jakarta"
"Kamu harus bayar denda, 50 ribu" kata Sudirman penuh ancaman.
"Waduh pak, saya minta maaf. Tapi bagaimana kalau 30 ribu saja. Saya ini belum dapet kerjaan dan saya nggak kenal siapa-siapa di Jakarta"
"Kamu ini, orang Lampung transmigran. Banyak cari alasan. Ya sudah, 40 ribu."
Eh, kok dia tau kalau kakek buyutku adalah transmigran dari Jawa Tengah. Pastilah pak Sudirman ini tahu dari logatku. Dan akhirnya setelah transaksi itu tuntas, dia meminjam KTP-ku dan memeriksanya dengan cara membolak-balikannya. Dalam waktu singkat aku kehilangan 40 ribu milikku untuk seorang Sudirman.


Dengan langkah gontai kulangkahkan kakiku di bangku panjang yang berjejer-jejer di sepanjang stasiun. Seorang penjual minuman kemasan yang terlihat masih belia duduk disebelahku sambil menawarkan dagangannya. Aku menolak dengan halus. Melihatku melamun dengan sedih, akhirnya dia mencoba menyapaku.
"Habis kecopetan ya mas?"
"Enggak, tapi saya habis kena denda. Saya lupa nggak beli karcis, jadi saya di denda 40 ribu"
"Hah, sama siapa?"
"Sama petugas kereta api dan polisi."
"Maksud saya, mas tau nggak siapa namanya?"
"Kalau nggak salah, pak Samijo. Nah kalo polisinya namanya Sudirman." Kataku mantap, rasanya aku tidak akan pernah melupakan kedua nama itu seumur hidupku. Bahkan bila aku kelak punya anak dan cucu, aku akan memaksa anak turunanku itu untuk mengingat keduanya.
"Ha ha, elo dikerjain doang" Laki-laki ini telah mengubah kata sapaannya padaku. Tadi dia memanggilku mas, tapi sekarang berubah jadi elo. Setelah itu dia tertawa keras, sampai kulihat ada air diujung matanya. Lelaki itu tidak sopan. Bagaimana tidak, dia mentertawakan aku yang baru saja kehilangan uang, Tapi rasa marahku itu tertutupi oleh rasa penasaranku.
"Kok, masnya tau kalo saya dikerjain" kataku
"Mas, saya nggak pernah bayar kereta dari kecil. Kakak saya yang rumahnya di Depok, kalo ke kantornya di pasar minggu juga nggak pernah bayar. Trus kalo ditagih ama petugas, kasih aja gopek atau seribu. Bapak saya malah lebih parah lagi, kalo dia pergi ke Bogor nengokin adeknya trus ditagih ama petugas dia malah marah-marah. Jadi mo ditagih kek, mo enggak kek dia nggak pernah bayar. Katanya dia nggak mau ngasih duit koruptor kelas teri, biarin cuma gopek doang. Gitu mas" Katanya, kembali dengan sapaan mas padaku.
Dengkulku lemas mendengar penjelasan lelaki itu. Kuputuskan saja untuk pergi dari kota Jakarta secepatnya. Akhinya aku membeli karcis jurusan Depok, aku tidak akan menuruti saran pemuda tadi untuk tidak membayar. Apa bedanya aku dengan Samijo dan Sudirman yang rasa curangnya sudah mendarah daging. Bagiku kejujuran amatlah penting. Ketika hari sudah gelap, sampailah aku di sebuah stasiun bernama Depok Lama. Kemudian aku mencari mushola disekitar stasiun, setelah aku menuntaskan solat Isya aku mencari sang marbot guna meminta ijin untuk menginap disitu. Dengan sopan, marbot mushola mengijinkan aku bermalam di pekarangan mushola. Mungkin karena aku membawa ransel besar yang terisi penuh, marbot itu mencoba bertanya tentang jati diriku.


"Dari mana mas, dari kampung ya?". Pertanyaannya merupakan pembukaan curahan hatiku saat itu. Setelah itu tanpa terbendung lagi kuceritakan semuanya. Mulai dari keinginanku ke kota, uangku yang menipis sampai dengan kesialanku hari itu. Lelaki beruban itu mengelus punggungku dan tiba-tiba dia bertanya.
"Memang masnya mau mencari kerja sebagai apa?"
"Saya cuma lulusan SMP, jadinya saya cuma bisa mengharap kerjaan yang banyak make otot. Nggak mungkin saya ngelamar dikantoran, lagian dikampung kerjaan saya ngebersihin kandang ayam. Selama beberapa hari ini saya ngelamar jadi kondektur, tukang sapu, sampai tukang bersih-bersih gerbong. Tapi katanya belum ada lowongan. Besok atau lusa mungkin saya akan balik ke kampung."
"Kebestulan anak saya yang biasanya kerja jaga toilet, sekarang sudah jadi supir pribadi. Selama sebulan ini bapaklah yang menggantikan tugasnya, soalnya belum dapet pengganti. Tadinya sempet masukin keponakan saya, tapi dia cuma tahan seminggu. Kalo masnya mau, besok pagi saya kenalin sama yang punya"
Mendengar hal itu, aku yang sejak tadi tertunduk langsung mengangkat wajahku.
"Bener pak, memangnya bapak sudah nggak mau kerja disana lagi."
"Saya nggak ada tenaganya lagi. Selain jadi marbot bapak juga punya kebon. Bertani maksudnya.


Itulah pekerjaan pertamaku, menjadi tukang jaga toilet umum. Tukang jaga kotak uang di depan pintu toilet dan bersih-bersih toilet, lebih tepatnya. Setiap harinya ada berpuluh-puluh manusia keluar masuk toilet yang berkapasitas tiga pintu ini. Dan manusia-manusia itu tidak semuanya suka dengan kebersihan. Aku baru sadar ternyata sisa metabolisme manusia, baunya jauh lebih busuk dari pada kotoran di kandang ayam kakakku. Baunya kadangkala membuatku malas makan, tapi kadangkala aku syukuri juga. Bau yang selama dua tahun menemaniku bertahan di kota ini. Bau kehidupanku.
(Depok: 2008 Diilhami dari kisah nyata, seorang kawanku dari Lampun)

Sabtu, 09 Februari 2008

Ada Apa Sesudah ini?

Sebelum ini ku benar-benar menikmati waktu (lalu). Seperti bebas dan terkasihi. Tapi hari ini mendadak semuanya 'buyar'. Aku heran sendiri, Apa ini? atau Ada apa sesudah ini? Kesakitan ternyata nyata tanpa di nyana. Perasaan tumpah meruah. Aku berfikir semua hanya'tai kucing'.
Mereka yang katanya 'besar' hanya orang-orang kerdil yang pingin di anggap besar.sebut saja beberapa nama penyair besar yang sudah punya nama di dunia sastra raya ini, ternyata ga' lebih dari seorang bandit-bandit pengecut yang ga' genah. Omong soal moral-omong soal keadilan yang ternyata cuma buat cari duit semata. Iya lah, untuk nga'fe atau menikmati berbotol-botol bir dan rokok kan perlu duit.Arogansi tinggi dengan sok dikatakan sosialis.
Apa lagi seniman-seniman rupa yang katanya besar itu. Mereka ga' lebih dari penyadur atau plagiat sejati. Para ternak-ternak kolektor. Siapa yang tidak butuh duit? Pastinya. Pelukis yang mengatas nama kan 'seni' hanya pendulang-pendulang harta semata. Tidak ada seni sama sekali, yang ada tetap duit. Yang saya heran kan lebih, lagi-lagi mereka masih bisa berteriak tentang moral, art atau bersembunyi di balik agungnya seni-seni lukis buatan mereka sendiri. Apa bedanya mereka dengan para politikus yang korup? Sama-sama busuk.
Siapa yang patut kecewa? tidak ada. Lah wong wajar saja...semua kan perlu duit. Perlu makan. Terserah kalau mereka harus diam-diam 'melacurkan' lukisan, atau jadi 'germo' para pelukis-pelukis yang katanya sudah terkenal itu. Tapi toh mereka masih tak jijik dengan sandang itu. Demi cari duit! Perduli amat sama moral, aturan. Ini jaman jegal menjegal. Tak suka langsung di begal. Mimpi kalau harus di kenang seperti basuki abdullah, atau affandi, ajib rosidy atau pramoediya sekali pun. Yang penting duit.Dan pasang muka empat, demi barat, timur, utara dan selatan.
Tertawa sumirlah saya. Sinikel yang tak berarti. Siapa gue? Yang protes masuk keranjang sampah di 'recycel' atau di mati kutukan. Jogja itu sempit kata seorang bekas sahabat. Jaringan mereka kuat. Rasis mereka lebih over loading dari nazi. Pelukis, Penyair terus 'digoreng'. Gosong. Sedih nya, tepat nya menyedihkan. Hidup dalam tungku-tungku kemunafikan. Ya iya lah...yang penting DUIT!
(depok,februari mendung 2008)

Rabu, 23 Januari 2008

"Surat Cinta Ku"

Aktifitas pagi di rumah ku sangat berwarna (rumah orang tua ku tepatnya, karena aku masih parasit lajang at this moment). Di mulai oleh pekikkan Ibu ku yang menyerukan keponakan 'pelor' ku bangun hampir di tiap pagi sudah menjadi rutinitas. Alih-laih aku yang baru tidur dini hari karena beberapa dateline tulisan terusik juga dan mau ga' mau, sudi ga' sudi ikut bangun pagi. dan turun 'tanah' ( karena posisi kamar ku di atas, dan kebetulan rumah ku 'melar' ke atas, alasan lainnya adalah harga tanah mahal di jakarta jadi agak sulit untuk me-melar-kan kesamping kiri atau kanan).
"Kakak Liza......!!!(begitu biasa panggilan sayang keponakan pertama ku) Mandi cepetan!. Ini sudah siang, kamu kan harus sekolah. Nanti terlambat baru tahu rasa. Eyang Uti ga' mau bantuin kalau Bu Guru mu negur kamu karena telat datang," seru ibu ku setengah geregetan geram giman gitu loch!.
Dan seruan lain pun ikut berkumandang mengekor suara ibu ku yang bernada sama juga 'memerintah'.
Sedang aku asyik duduk dekat meja makan memandangi sarapan pagi dan secangkir kopi hitam manis. Tak jauh dari situ diletakan box bayi kepunyaan mutia, dan seperti biasa Mutia tampil manis, wangi karena sudah mandi sedari bangun pagi sekali. Dialah yang paling rajin bangun pagi-pagi sekaligus sudah berdandan rapi juga wangi sepagi ini. Tak pernah legam senyum yang terpasang untuk ku,meski aku masih kucel. Selalu manis dan bergerak-gerak badan yang di condongkan ke kanan atau kiri sesukanya, bergelayut manis pula rambut ikal hampir panjang menyentuh bahu. Bikin gemas untuk diciumi baunya.


"Iya nih, dasar malas. Tidur nya malam sih. Makanya jangan banyak main...dan Bla...Bla...Bla.." lagi seru kakak ipar ku (mamah nya Kakak Liza) menambah 'riuh' cenderung jadi keruh suasana pagi. Sebetulnya aku paling sebal kalau pagi-pagi harus 'adu argument' macam hukum rimba begitu. Untuk Keponakan ku sendiri cuma bisa manyun berwajah masam, mungkin ia sangat terusik oleh pembangunan yang sesungguhnya tidak ia setujui, seperti penjajahan saja. Masih belum beranjak dari tempat tidur ultimatum ibu ku (eyang uti) semakin berani terkesan 'sadis'.


"Kamu tuh Malas sekali Liza! Awas! kalau belum turun dari tempat tidur juga, Uti siram pakai air!. Kamu mau cara halus apa di kasar sih..???!!" Hujam kata Ibu ku.

Aku senyum-senyum saja. Lah wong dari tadi juga sudah pakai cara kasar gumam ku pendek.
semua mata memandang dan ku pun cuek. Demi mendengar suara ku, sesaat keponakan ku langsung turun lalu beringsut mendekati ku yang masih tengah duduk di meja makan.
Seperti hendak mengadu. mencari sekutu atau bantuan pada ku. Ia memilih minta ditemani oleh ku saat mandi."Sama..Tante...." lenguhnya pelan.
Ibu, Kakak ipar juga kakak laki-laki ku seketika memandang ku seperti sebuah perintah..sudah sana cepat temani keponakan mu dari pada kesiangan mandi dan telat ke sekolah. Loh..kok jadi sewot semua matanya...damai aja, Bung! Setengah diseret langkah ku pun menuntun Kakak Liza ke kamar mandi. Masih dalam diam ku pandangi ia mepreteli baju tidur (daster) pada tubuhnya yang gendut menggemaskan itu ('Munel' kalau bahasa ibu ku biasa memanggilnya). Selanjutnya ku bantu ia mandi sendiri.
Bukan sok Jaim..tapi aku paling tak hoby ikut nimbrung 'diskusi' pagi di rumah, hanya saja kalau sudah ada tangis pecah dan omelan-omelan semakin seru, barulah aku ikut 'rembug'. seperti halnya pagi ini. setelah acara mandi-mandi sudah selesai mulus, sesi pakai baju dan dandan pun jadi seru. Keponakan ku yang terkenal 'lelet' semakin mengeramkan anggota keluarga. Komentar-komentar serupa seruan marah pun makin santer terdengar.

"Aduh..Kakak....cepetan bajunya...." atau "Ini lagi cepat di kancingin kemejanya.., kaos kaki nya juga...tuh...kan....dan seterusnya...dan seterusnya.." kadang tak ayal kakak iparku menghadiahkan 'cuilan' pedis di kulit keponakan ku itu. dan tangis pun pecah. Sempurna lah pagi-pagi ku.
Akhir cerita, kembali aku lah satu-satunya sekutu kakak liza ( selain bapak ku/eyang akung tentunya, karena beliau cenderung tak ambil perduli asyik terus baca koran pagi). Sambil setengah mengibur disela sedu sedan oleh tangis hasil cubitan ibunya, ku bantu ia merapikan diri seketika dia pun tampil rapi. Siap menuntut ilmu di sekolah tingkat dasar negeri demi menjadi manusia yang beradab, kebanggaan negri, cerdas, pintar dan rangking satu! (mungkin?).
Malam hari setelah pulang dari mengeluti kerja kudapati tempelan sepucuk amplot surat kecil di pintu kamar ku. Menilik dari tulisannya aku bisa menebak jitu pengirim nya. Kakak Liza.
Ku baca surat yang awalnya ku pikir lucu, tapi setelah itu aku tersentuh..isi nya: (di tulis panjang tanpa tanda baca).
" Tante Ita Ini Surat dari kakak Liza Untuk Tante Jangan dibuang ya tolong pelise (maksunya Please, lalu ada tanda hati kemudian disambung lagi) aku ucapin terimakasih tante baik tadi pagi tidak ikutan marahin aku aku kan masih ngantuk tapi uti mamah bapak suka ngak ngerti terimakasih tante dan liza cinta sayang tante (kemudian baris paling bawah) dari kakak liza (tanda hati) buat tante ita jangan dibuang. LIZA."
Lantas ku dekap kertas surat bertuliskan tinta biru dengan tak beraturan antara tata hurup-hurup besar kecilnya,tapi sangat 'sempurna' untuk ku. Thank You so much dear for the lovely letter. I love You Too so muach..as well as u want dear. ( Januari'08)

Selasa, 22 Januari 2008

"Makelar Jodoh..."


"Jangan duduk di depan pintu!, nanti jauh jodoh!" tergur ibunda tercinta, yang kerap 'jutek' kala melihat ku asyik ngopi santai sambil baca koran pagi di depan lawang rumah pas di teras depan.
Loh..apa hubungannya coba. realistis dikit lah mami ku sayang.... masak duduk dihubungkan dengan jodoh (edan!). Kalau menghalangi orang bolak-balik, keluar masuk rumah itu logis, dan memang 'jodoh' itu agak tidak logis juga buat aku ( buat aku loch! jangan protes ini kan juga blog ku..*senyum*). Lebih tidak berperasaan lagi tak lama setelah bunda terkasih protes dengan kebiasaan ku, telepon rumah memekik 'horni' dan dari deringnya sudah ketebak siapa manusia ber-adab yang punya kebiasaan telepon pagi mengusik acara coffe morning ku.

"Lu musti datang ke markas. Orang nya ganteng. lu ga' bakal rugi deh!Sumpah!, percaya ma gue!" Setengah hidup ichal meyakini ku.
" Ini temen lu yang ke berapa? ga' cape' lu!! gue ogah di 'makelarin' dan ngapain gue musti percaya sama elu? Musyrik! percaya cuma sama TUHAN!" Bantah ku setengah sengit ( meskipun aku hanya muslim kapiran tapi aku masih percaya TUHAN, bukan macam JIMO yang selalu secara lugas tanpa aling-laing ber- ANTI TUHAN. Lagi ngetren kali ideologi ATHEIS saat ini, aku tak paham juga as u wish lah...!!

Cukuplah buat ku 'mimpi buruk' yang pernah aku alami dalam urusan jodoh pernikahan. dan ga' mo-mo gi (tidak mau-mau lagi). Apa lagi pakai acara di-comblang-in. Ini salah satu hal yang melanggar HAM menurut ku. Kurang membawa dampak positif malah cenderung 'memalaskan' manusia serta 'memandulkan' kreatifitas dalam pencarian jodoh.

Aku jadi ingat film serial TV Ally McBill ( bener ga' tulisannya? Pangapunten gih kalau salah..)
Makelar jodoh atau Mak' Coblang (what ever!) akan memundurkan kemandirian kita ( 'ku' tepatnya).Lah ngapain juga repot. zaman sekarang masih ada comblang-comblangan.wong zaman juga sudah serba cyber hight tec atau cangih (kata simbah ku di jogja) masih aja main comblang-comblangan' ( mendingan main jalangkung jelas-jelas terkutuk,sekutu setan dan balck magic macam santet plus pelet).

Ini zaman kemandirian Bung! Lihat! Anjungan Tunai aja sudah Mandiri. Mau ambil duit sekarang bisa sendiri ( tapi syarat dan ketentuan berlaku loh..kalau ga' punya rekening jangan mimpi bisa ambil Mandiri, ngerampok mah iya...!!!). Coba cari contoh lain yang berhubungan dengan MANDIRI selain urusan duit, pasti kalian setuju bahwa be independent more delightfull. Termasuk urusan cari jodoh. (ngomong-ngomong MANDIRI kalau ngambil di ATM Bank Mandiri Limit yang musti di tinggalin berapa sih? kok duit ku masih 100 ribu sudah ga' bisa diambil lagi ya meski setengah nya??)

"Lah kalau hasilnya baik kenapa Tidak?! kalau nungguin kamu, bakal lama. Bisa-bisa rusak tak terpakai!" begitu (lagi-lagi) komentar Bunda tersayang penuh semangat dan mengelitik kuping sedikit miris. Alah Mak' Jan..!! ( sory JAN..emak mu aku bawa-bawa!) "Ingat.......!!!" Walah langsung tutup telinga lah demi mendengar kalimat-kalimat setelah kata "Ingat" tadi. kalau aja tidak ingat kuwalat sudah aku....(jangan ding...hehehe nanti kuwalat beneran!!! Maapin mah...!!).

That's life. Jodoh Adalah isu juga wacana yang everlasting. Tidak ada basi nya. Masih saja suka memporak porandakan ide-ide serta pemikiran moderen kini. Bagaimana dengan anda? All of yours..( ya iya lah...) karena yang menjalankan kita sendiri. Udah akh!! mendingan cari anak kucing pesanan Pak Alex (my cool cheif editor) untuk Mba'Ning (begitu beliau ingin dipanggil, bukannya tidak kenal toto kromo) sang istri tercinta pengganti mendiang IBAN yang past away tahun baru kemarin.(bukan jadi parno lantas cari alternatif ke kucing loh...cuma masih banyak yang musti di lakuin selain sewot dan repot meladenin ichal si Pak comblang...last but not least thank you for your atanttion... aku tahu kamu begitu perduli dengan 'kesendirian' ku hingga tak perlu lagi melakukan ritual 'kemandirian' saban malam.......hahahahaha nah loh..kamu ketahuan!!!).(Januari'08).
















Senin, 21 Januari 2008

My Jogja's journy


Unforgetable! ke jogjakarta aku kan kembali walau apa pun yang terjadi.