Minggu, 24 Februari 2008

" Bunda!, Senyumku Manis Sekali"


Hasna Mariyam
(kakak Hasna)
( 2th 6 bulan )

Mutia Anzalna Ramadhani
( Adik Muti/9 bln )

Alivia Liza Umami
(Kakak Liza/6 th )
All my inspiration are Above
P.S I Love You

"Bau Kehidupan"

Namaku Slamet, sudah dua tahun ini aku menetap di kota Depok. Aku datang ke kota ini pada saat umurku 21 tahun. Saat itu aku memberanikan diri untuk hijrah ke Jakarta. Apalagi alasannya, kalau bukan untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Di tempat asalku Lampung, aku hanya kerja serabutan. Pekerjaanku yang terakhir disana adalah mangkal disekolah SD Impres dekat kelurahan lalu menggambar kartun tokoh-tokoh pahlawan super seperti Superman dan Spiderman dikertas berukuran A4, dan kujual seharga 200 rupiah. Saat itu aku cuma bermodalkan spidol dan kertas, lalu nongkrong di dekat pintu gerbang sekolah. Kubuat plang pemberitahuan seadanya, "SATU LUKISAN RP 200". Yang dimaksud dengan lukisan itu tidak lain adalah gambar buatan tanganku yang sudah terjejer rapih didepanku. Hari pertama, baik anak-anak maupun orang yang lewat depan SD tidak ada yang mengerti maksudku. Jadilah aku hanya terdiam di dekat gerbang sambil melihat anak-anak sekolah itu menyerbu bakso tusuk yang berwarna abu-abu kehitaman, yang sebelum dimakan harus dicelupkan dahulu ke dalam saos berwarna textil. Serbuan di sebelahnya juga tidak kalah heboh, si-abang perjual es warna-warni yang hanya berasa sitrun dan tanpa ijin Depkes terlihat kewalahan melayani mereka.


Namun dihari-hariku berikutnya aku lebih beruntung. Ketika anak sekolah itu sedang ramai-ramainya menyerbu bakso tusuk rasa textil dan es warna-warni tanpa ijin Depkes, aku menggambar dengan penuh keyakinan. Keyakinan bahwa akan ada anak yang menghampiriku dan membeli hasil karyaku. Dan benar juga, seorang anak lelaki dengan hidung ditutupi ingus kental berwarna hijau berjongkok dihadapanku. Ditangan anak itu tergenggam es warna merah yang sesekali disedotnya. Tak lama kemudian sudah ada empat anak lainnya didekat anak itu. Sekilas sepertinya mereka bersahabat, karena es yang mereka pegang warnanya sama-sama merah. Padahal es itu memiliki enam warna mencolok yang berbeda. Aku tidak berhenti menggambar dengan spidol warna hitamku dan berusaha membuat mereka terkesan dengan gambarku. "Bang buatin spidermen yang lagi terbang ngelewatin gedung dong" seorang anak dengan ingus hijaunya berkata kepadaku. "Harganya 200, nanti diwarnain sendiri biar bisa jago gambar kayak abang" kataku, berharap anak itu masih punya sisa uang saku dikantongnya. Hari itu aku beruntung, karena akhirnya aku berhasil mengantongi 8000 rupiah hasil usahaku menjual karya tanganku.
Usaha itu kujalani selama lima bulan, paling banyak penghasilanku sekitar 15.000 rupiah. Kadangkala uang itu kuberikan pada kakakku yang nomor 3. Selama ini, aku memang menumpang dirumahnya, karena dari semua kakak-kakakku dialah yang kuanggap paling berada. Kerika aku kelas satu SMP, bapakku meninggal. "Masuk angin duduk", begitulah kata orang-orang disekitarku menjelaskan peyebab kematian bapakku. Dua tahun kemudian, ketika aku sudah mengantongi ijazah SMP emakku menyusul. Beliau meninggal karena TBC. Jadilah aku, bungsu dari 6 bersaudara ini hidup dari belas kasihan kakakku. Kakakku yang ke-3 ini menikah dengan seorang peternak ayam petelur, karena suaminya sudah berpengalaman jadi penghasilannya cukup lumayan. Dirumahnya aku berusaha menjadi adik yang baik, aku membantu kakakku membersihkan kandang, mencuci piring, merapihkan rumah sampai mencuci pakaian anaknya yang bau ompol. Kerika aku memutuskan untuk pergi ke Jakarta, kakakku menangis. Keponakanku yang berusia 3 tahun dan masih sering mengompol-pun ikut menagis melihat ibunya menangis. "Jangan tinggalin solat ya, le" begitulah pesan terakhirnya. Dengan bekal sebagian hasil usaha gambarku sebesar 300 ribu dan ditambah dengan uang dari kakakku sebesar 250, jadilah aku berangkat ke Jakarta via bus antar propinsi.


Hingga hari ke-4 berkeliling di Jakarta, aku belum juga mendapatkan pekerjaan. Padahal uang di kantongku, eh maksudku uang yang kusimpan di dalam kaos kakiku hanya tinggal 275 ribu. Saat itu aku hanya duduk di sebuah stasiun kereta api. Kulihat sekeliling, untuk memastikan dimana aku terdampar saat itu. Kulihat keatas, terlihat sebuah papan nama bertuliskan "Duren Kalibata". Tulisan pada papan nama itu tidak terlihat jelas karena ada coretan diatasnya. Aku membayangkan usaha orang yang mencoret papan nama yang digantung diatas ketinggian 2 meter itu. Pastilah si pelakunya digendong dulu oleh temannya, batinku dalam hati. Dari kejauhan kulihat sebuah kereta api datang mendekat, melihat sebagian bangkunya kosong akhirnya kulangkahkan kakiku ke dalamnya. Di dalam kereta ada seorang petugas pemeriksa karcis datang mendekat, dan aku kelabakan ketika kusadari aku lupa beli karcis. Hari-hariku belakangan ini begitu melelahkan, pastilah karena itu aku lupa membeli karcis.


"Karcis mas", laki-laki gemuk separuh baya di depanku berkata tanpa ekspresi.
"Maaf pak, saya lupa beli karcis" kataku pada pria berseragam itu dengan nada gemetar.
"Kamu dari mana?" ekspresinya penuh ancaman.
"Lampung pak."
"Maksudnya, kamu tadi naik dari stasiun mana?"
"Kalibata Duren, pak."
"Oo, Duren kalibata. Kamu nggak bisa gratisan begitu. Ini kan bukan kereta mbah buyutmu, kamu ikut saya nanti sampai Manggarai."
Aku mengangguk perlahan tanda setuju, di dada kirinya lihar sebuah nama "Samijo". Lalu lelaki itu duduk di sudut gerbong, kebetulan gerbong yang kunaiki adalah gerbong terakhir. Dari kantongnya dia mengeluarkan uang recehan dan ribuan yang terkuel dan memasukkannya ke dalam kantong kresek. Dalam ketakutanku, yang terlintas dipikiranku adalah dia baru saja membawa uang hasil membongkar celengan anaknya.


Disebuah stasiun yang bernama Manggarai, aku turun bersama si-Samijo. Aku dibawa kesebuah ruangan. Disana duduk beberapa orang yang berseragam seperti Samijo, dan ditengah ruangan kulihat seorang polisi yang sedang duduk diatas meja tertawa terbahak-bahak dengan orang berseragam seperti Samijo yang ada dihadapannya. Samijo menyuruhku duduk di kursi didekat pintu, setelah itu dia berjalan menghampiri polisi itu. "Ya Allah, aku jangan sampe dipenjara ya Allah" begitulah doaku dalam hati. Tak lama kemudian polisi itu sudah ada di hadapanku. "Sudirman" begitulah nama polisi tersebut. Nama polisi itu bagus sekali, Sudirman adalah seorang jendral besar. Tapi gaya polisi itu menakutkan, tidak seperti sang jendral yang kukenal lewat buku sejarahku ketika aku sekolah dulu.
"Kamu tau nggak, kamu baru saja melakukan pelanggaran"
"Maaf pak, saya kelupaan. Saya baru dari Lampung, jadi saya masih binggung sama Jakarta"
"Kamu harus bayar denda, 50 ribu" kata Sudirman penuh ancaman.
"Waduh pak, saya minta maaf. Tapi bagaimana kalau 30 ribu saja. Saya ini belum dapet kerjaan dan saya nggak kenal siapa-siapa di Jakarta"
"Kamu ini, orang Lampung transmigran. Banyak cari alasan. Ya sudah, 40 ribu."
Eh, kok dia tau kalau kakek buyutku adalah transmigran dari Jawa Tengah. Pastilah pak Sudirman ini tahu dari logatku. Dan akhirnya setelah transaksi itu tuntas, dia meminjam KTP-ku dan memeriksanya dengan cara membolak-balikannya. Dalam waktu singkat aku kehilangan 40 ribu milikku untuk seorang Sudirman.


Dengan langkah gontai kulangkahkan kakiku di bangku panjang yang berjejer-jejer di sepanjang stasiun. Seorang penjual minuman kemasan yang terlihat masih belia duduk disebelahku sambil menawarkan dagangannya. Aku menolak dengan halus. Melihatku melamun dengan sedih, akhirnya dia mencoba menyapaku.
"Habis kecopetan ya mas?"
"Enggak, tapi saya habis kena denda. Saya lupa nggak beli karcis, jadi saya di denda 40 ribu"
"Hah, sama siapa?"
"Sama petugas kereta api dan polisi."
"Maksud saya, mas tau nggak siapa namanya?"
"Kalau nggak salah, pak Samijo. Nah kalo polisinya namanya Sudirman." Kataku mantap, rasanya aku tidak akan pernah melupakan kedua nama itu seumur hidupku. Bahkan bila aku kelak punya anak dan cucu, aku akan memaksa anak turunanku itu untuk mengingat keduanya.
"Ha ha, elo dikerjain doang" Laki-laki ini telah mengubah kata sapaannya padaku. Tadi dia memanggilku mas, tapi sekarang berubah jadi elo. Setelah itu dia tertawa keras, sampai kulihat ada air diujung matanya. Lelaki itu tidak sopan. Bagaimana tidak, dia mentertawakan aku yang baru saja kehilangan uang, Tapi rasa marahku itu tertutupi oleh rasa penasaranku.
"Kok, masnya tau kalo saya dikerjain" kataku
"Mas, saya nggak pernah bayar kereta dari kecil. Kakak saya yang rumahnya di Depok, kalo ke kantornya di pasar minggu juga nggak pernah bayar. Trus kalo ditagih ama petugas, kasih aja gopek atau seribu. Bapak saya malah lebih parah lagi, kalo dia pergi ke Bogor nengokin adeknya trus ditagih ama petugas dia malah marah-marah. Jadi mo ditagih kek, mo enggak kek dia nggak pernah bayar. Katanya dia nggak mau ngasih duit koruptor kelas teri, biarin cuma gopek doang. Gitu mas" Katanya, kembali dengan sapaan mas padaku.
Dengkulku lemas mendengar penjelasan lelaki itu. Kuputuskan saja untuk pergi dari kota Jakarta secepatnya. Akhinya aku membeli karcis jurusan Depok, aku tidak akan menuruti saran pemuda tadi untuk tidak membayar. Apa bedanya aku dengan Samijo dan Sudirman yang rasa curangnya sudah mendarah daging. Bagiku kejujuran amatlah penting. Ketika hari sudah gelap, sampailah aku di sebuah stasiun bernama Depok Lama. Kemudian aku mencari mushola disekitar stasiun, setelah aku menuntaskan solat Isya aku mencari sang marbot guna meminta ijin untuk menginap disitu. Dengan sopan, marbot mushola mengijinkan aku bermalam di pekarangan mushola. Mungkin karena aku membawa ransel besar yang terisi penuh, marbot itu mencoba bertanya tentang jati diriku.


"Dari mana mas, dari kampung ya?". Pertanyaannya merupakan pembukaan curahan hatiku saat itu. Setelah itu tanpa terbendung lagi kuceritakan semuanya. Mulai dari keinginanku ke kota, uangku yang menipis sampai dengan kesialanku hari itu. Lelaki beruban itu mengelus punggungku dan tiba-tiba dia bertanya.
"Memang masnya mau mencari kerja sebagai apa?"
"Saya cuma lulusan SMP, jadinya saya cuma bisa mengharap kerjaan yang banyak make otot. Nggak mungkin saya ngelamar dikantoran, lagian dikampung kerjaan saya ngebersihin kandang ayam. Selama beberapa hari ini saya ngelamar jadi kondektur, tukang sapu, sampai tukang bersih-bersih gerbong. Tapi katanya belum ada lowongan. Besok atau lusa mungkin saya akan balik ke kampung."
"Kebestulan anak saya yang biasanya kerja jaga toilet, sekarang sudah jadi supir pribadi. Selama sebulan ini bapaklah yang menggantikan tugasnya, soalnya belum dapet pengganti. Tadinya sempet masukin keponakan saya, tapi dia cuma tahan seminggu. Kalo masnya mau, besok pagi saya kenalin sama yang punya"
Mendengar hal itu, aku yang sejak tadi tertunduk langsung mengangkat wajahku.
"Bener pak, memangnya bapak sudah nggak mau kerja disana lagi."
"Saya nggak ada tenaganya lagi. Selain jadi marbot bapak juga punya kebon. Bertani maksudnya.


Itulah pekerjaan pertamaku, menjadi tukang jaga toilet umum. Tukang jaga kotak uang di depan pintu toilet dan bersih-bersih toilet, lebih tepatnya. Setiap harinya ada berpuluh-puluh manusia keluar masuk toilet yang berkapasitas tiga pintu ini. Dan manusia-manusia itu tidak semuanya suka dengan kebersihan. Aku baru sadar ternyata sisa metabolisme manusia, baunya jauh lebih busuk dari pada kotoran di kandang ayam kakakku. Baunya kadangkala membuatku malas makan, tapi kadangkala aku syukuri juga. Bau yang selama dua tahun menemaniku bertahan di kota ini. Bau kehidupanku.
(Depok: 2008 Diilhami dari kisah nyata, seorang kawanku dari Lampun)

Sabtu, 09 Februari 2008

Ada Apa Sesudah ini?

Sebelum ini ku benar-benar menikmati waktu (lalu). Seperti bebas dan terkasihi. Tapi hari ini mendadak semuanya 'buyar'. Aku heran sendiri, Apa ini? atau Ada apa sesudah ini? Kesakitan ternyata nyata tanpa di nyana. Perasaan tumpah meruah. Aku berfikir semua hanya'tai kucing'.
Mereka yang katanya 'besar' hanya orang-orang kerdil yang pingin di anggap besar.sebut saja beberapa nama penyair besar yang sudah punya nama di dunia sastra raya ini, ternyata ga' lebih dari seorang bandit-bandit pengecut yang ga' genah. Omong soal moral-omong soal keadilan yang ternyata cuma buat cari duit semata. Iya lah, untuk nga'fe atau menikmati berbotol-botol bir dan rokok kan perlu duit.Arogansi tinggi dengan sok dikatakan sosialis.
Apa lagi seniman-seniman rupa yang katanya besar itu. Mereka ga' lebih dari penyadur atau plagiat sejati. Para ternak-ternak kolektor. Siapa yang tidak butuh duit? Pastinya. Pelukis yang mengatas nama kan 'seni' hanya pendulang-pendulang harta semata. Tidak ada seni sama sekali, yang ada tetap duit. Yang saya heran kan lebih, lagi-lagi mereka masih bisa berteriak tentang moral, art atau bersembunyi di balik agungnya seni-seni lukis buatan mereka sendiri. Apa bedanya mereka dengan para politikus yang korup? Sama-sama busuk.
Siapa yang patut kecewa? tidak ada. Lah wong wajar saja...semua kan perlu duit. Perlu makan. Terserah kalau mereka harus diam-diam 'melacurkan' lukisan, atau jadi 'germo' para pelukis-pelukis yang katanya sudah terkenal itu. Tapi toh mereka masih tak jijik dengan sandang itu. Demi cari duit! Perduli amat sama moral, aturan. Ini jaman jegal menjegal. Tak suka langsung di begal. Mimpi kalau harus di kenang seperti basuki abdullah, atau affandi, ajib rosidy atau pramoediya sekali pun. Yang penting duit.Dan pasang muka empat, demi barat, timur, utara dan selatan.
Tertawa sumirlah saya. Sinikel yang tak berarti. Siapa gue? Yang protes masuk keranjang sampah di 'recycel' atau di mati kutukan. Jogja itu sempit kata seorang bekas sahabat. Jaringan mereka kuat. Rasis mereka lebih over loading dari nazi. Pelukis, Penyair terus 'digoreng'. Gosong. Sedih nya, tepat nya menyedihkan. Hidup dalam tungku-tungku kemunafikan. Ya iya lah...yang penting DUIT!
(depok,februari mendung 2008)