Sabtu, 09 Februari 2008

Ada Apa Sesudah ini?

Sebelum ini ku benar-benar menikmati waktu (lalu). Seperti bebas dan terkasihi. Tapi hari ini mendadak semuanya 'buyar'. Aku heran sendiri, Apa ini? atau Ada apa sesudah ini? Kesakitan ternyata nyata tanpa di nyana. Perasaan tumpah meruah. Aku berfikir semua hanya'tai kucing'.
Mereka yang katanya 'besar' hanya orang-orang kerdil yang pingin di anggap besar.sebut saja beberapa nama penyair besar yang sudah punya nama di dunia sastra raya ini, ternyata ga' lebih dari seorang bandit-bandit pengecut yang ga' genah. Omong soal moral-omong soal keadilan yang ternyata cuma buat cari duit semata. Iya lah, untuk nga'fe atau menikmati berbotol-botol bir dan rokok kan perlu duit.Arogansi tinggi dengan sok dikatakan sosialis.
Apa lagi seniman-seniman rupa yang katanya besar itu. Mereka ga' lebih dari penyadur atau plagiat sejati. Para ternak-ternak kolektor. Siapa yang tidak butuh duit? Pastinya. Pelukis yang mengatas nama kan 'seni' hanya pendulang-pendulang harta semata. Tidak ada seni sama sekali, yang ada tetap duit. Yang saya heran kan lebih, lagi-lagi mereka masih bisa berteriak tentang moral, art atau bersembunyi di balik agungnya seni-seni lukis buatan mereka sendiri. Apa bedanya mereka dengan para politikus yang korup? Sama-sama busuk.
Siapa yang patut kecewa? tidak ada. Lah wong wajar saja...semua kan perlu duit. Perlu makan. Terserah kalau mereka harus diam-diam 'melacurkan' lukisan, atau jadi 'germo' para pelukis-pelukis yang katanya sudah terkenal itu. Tapi toh mereka masih tak jijik dengan sandang itu. Demi cari duit! Perduli amat sama moral, aturan. Ini jaman jegal menjegal. Tak suka langsung di begal. Mimpi kalau harus di kenang seperti basuki abdullah, atau affandi, ajib rosidy atau pramoediya sekali pun. Yang penting duit.Dan pasang muka empat, demi barat, timur, utara dan selatan.
Tertawa sumirlah saya. Sinikel yang tak berarti. Siapa gue? Yang protes masuk keranjang sampah di 'recycel' atau di mati kutukan. Jogja itu sempit kata seorang bekas sahabat. Jaringan mereka kuat. Rasis mereka lebih over loading dari nazi. Pelukis, Penyair terus 'digoreng'. Gosong. Sedih nya, tepat nya menyedihkan. Hidup dalam tungku-tungku kemunafikan. Ya iya lah...yang penting DUIT!
(depok,februari mendung 2008)