Jumat, 30 November 2007

"Hari yang harus di lupakan"

Sebetulnya malas keluar hari itu. Siang terik dan sisa lelah begadang beberapa hari sebelum itu memaksa mood ku untuk tetap di rumah. Telepon genggam ku berbunyi. Hati ku bimbang antara datang atau tidak.Hal seperti itu membuat ku lemah otak,terkadang.Setengah hati aku berjalan ke tempat mu. Aku bertemu mantan pegawaimu,dan semua berjalan 'aneh' menurut perasaan ku. Seharusnya ku turuti kata hati sejak awal, dan hal itu pun terjadi
Dalam duduk lutut bertangkup lengan, saat obrolan sudah sampai tengah topik,mendadak pintu skat lemari di dorong. Berdiri setengah menantang dengan salah satu tanggan mengacung-acungkan ke atas,raut wajah penuh emosi. Muncul tiba-tiba di hadapan ku.Waktu itu aku tidak sedang duduk berhadapan dengan laki yang masih dianggapnya 'suami'.
"Diamput!"
maki ku kecil penuh sungut dalam hati tatkala ia merepet 'ngomel' tanpa ujung pangkal. Belum selesai pertanyaannya aku jawab ia mangkin mem-babi-buta (marah seperti babi buta mungkin maksudnya). Tak perlu penjelasan.penuh kecerdasan ku tak berkata apa pun. Bukannya aku takut, tapi aku khawatir membuat besar kemaluan ku dan kemaluan teman ku mendapati perempuan gaek yang depresi macam itu. Sizopren ringan grutu ku masih dalam hati dan bibirku tersenyum dingin, kalau 'iblis' betina itu sadar aku tengah mengejek nya,tapi dasar otak udang, hati macan."seng waras ngalah.." bathin ku.
Dan ku beranjak setengah mangsul, ingin ku tonjok bibir lemes nya, tapi sesaat hati ku tertawa. "Dia cemburu atau cemas pada lakinya yang ia sia-siakan, sedangkan lakinya pun tak mau beruang sama lagi dengannya."Lihat dunia, kini ku jadi mengerti". Semua wajah dengan mata menyelidik, semua telinga di pasang untuk menyimak. Puas kata-kata binal terucap pada ku,berat karena emosi sambil terus mengoceh 'gila' ia berlalu. Aku pun hengkang sambil merutuki ke sialan ku. Dan segenap kekuatan tubuh dan bathin ku tak urung satu-satu nama muncul di kepala ku, mengenali oknum di balik 'tragedy' yang Harus di lupakan segera, atau aku jadi merana dan ikutan gila seperti dia.
Ajaib nya ternyata yang merendahkan dan terlihat rendah seorang perempuan bukanlah laki-laki, tapi kaum perempuan itu sendiri. Tak jarang kita (kaum perempuan) di hinakan sebagai penduduk kelas 'dua', yang di dominasi oleh sembilan puluh sembilan perasaan, dan satu akal itu kerap hanya unjuk perasaan (emosi) saja, dan satu akalnya telah habis untuk masak "indomie telor" di dapur.TEGA nya.
(maaf harus ku katakan kau gila, karena sikap motah-motah mu yang tak terkira).
(nopember.2007)

Senin, 26 November 2007

"Blue"

If there's no other colour for my sky,

together with my eyes become blind when everythings dark.

I'll keep Blue as my sky.

Blue, when heaven smile Blue,

when the sun unover spring Blue.

Blue...Blue..Blue

I love Blue jus like i love YOUR-Authority

I love Blue just part of my soul

What is More I wish my soul's colour is Blue.

Have you ever ask, Why Blue??


Blue is sky, Blue is heart, Blue is YOUR-Smile

So do not blame it if I love blue.

Blue..Blue..Blue

It's necessary that i do become blue? Might be Not!

Cause I do not love all of my self very much

I do love Blue more, Blue my sky.

I'm just afraid that love so futter up, like bad cancer.

Means there must be alowed to go, there must be lossing feel.

Think you back is part of moment.

Beauty and Bitter in the same times.

"Sahabat lelaki ku"

Suatu malam...
Pada mu sahabat lelaki ku,
Renyah,ringan seakan melayang terdengar garis suaramu di ujung sana pada gendang telingaku,berucap juga."Aku bahagia sekali malam ini,"
Kriuk suaramu seperti kerupuk baru di goreng. akh! betapa mudah tertular aku pada suara ceria mu. Sendirinya sudut bibirku tertarik membentuk seulas senyum dan menebak-nebak apa yang pasti menyenangkan mu malam itu selain saat bersama ku, seperti kata mu sering.
Padahal belum legam ingatan ku akan wajah gusar oleh perasaan tak nyaman sebentar sore lalu.
Di mana waswas meliputi mu kala malam sebelumnya khawatir akan nasib buruk yang bakal terjadi, yang akhirnya semua baik saja. Lega mu.
Malam ini engkau senang, percaya boleh tidak, seketika aku juga ikut tergembira oleh suara dan berita mu.Ku tanya apa yang buat mu sesenang itu.
"Aku dapat beasiswa," jawab mu ringan.tersenyum pasti.
Setengah terkejut tak urung semangat ku bertanya lagi.
"dari?"
"Doorprise di acara halal bi halal, aku sekarang masih dalam acara."
Teriring ucapan selamat, dan menyadarkannya pasti bahwa silahturahim itu memperpanjang rezeki. Tersadar ia mengiyakan perkataan ku, hal yang ia malasi untuk hadir awalnya ternyata mendatangkan atmosfir menggembirakan juga 'hadiah' yang membesarkan hati.
Aku penasaran ingin dengar cerita itu banyak.
"Setiba ku di rumah, aku telpon esia mu, ku ceritakan lagi," Janji mu pasti.Lama.
Untuk mu sahabat lelaki ku. seperti slogan 'pamungkas' mu (selalu) bahwa hidup itu misteri. Benar-benar mengertilah kita makna dari itu.Masih lama juga.
Dan SMS pun ku kirim.
"Hari larut,aku mengantuk.Masih macet kah jalan jakarta selarut ini? hingga lama tiba dan ponselku tak kunjung bersuara.aku pun mengantuk..."
SMS di terima, sesaat ponselku berbunyi.
"Malam...", suara mu masih renyah.
Dan obrolan malam pun dimulai.(Nopember 2007)

Minggu, 25 November 2007

"Sang Buah Hati"

Kepada buah hati,belahan hati Bunda. Berjejalan ide-ide saat bersama mu. Teriring do'a dan bertaruh nyawa pada dua sembilan september duaribuenam berbantu bidan di klinik bersalin sederhana bersahaja pukul setengah delapan malam. Saat do'a-do'a terpanjat di bulan suci ramadhan kau terlahir dan berhak menyandang nama MUTIA ANZALNA RAMADHANI. Di mana Ramadhan adalah bulan suci sesuci lahir dan bathin mu, derai tangis lantang menantang kokohnya zaman. Mata mu bening sebening hati jiwa mu, rambut ikal secerdas akal pemikiran dan budi pekerti mu. Halus dan putih kulit mu sehalus tutur kata dan seputih sanubari mu. Bergerak pasti menyusuri puting susu ku dalam dekapan hangat ku,sang Bunda mu. Selamat Hidup buah hati ku, Syukur ku pada-Mu sang penguasa jagat raya beserta isinya. Atas Rahmat-Mu lah hidup dan mati.

"Gosok Gigi Bersama"

Kebiasaan membersihkan (menggosok) gigi sudah saya terapkan sedini mungkin pada putri pertama saya Mutia, yang saat ini telah berusia empat belas bulan. Petunjuk dari buku, majalah, dan tabloid keluarga yang kerap kali saya baca guna menambah wawasan sebagai sosok seorang 'ibu baru' selalu saya taati. Mulai dari tahap apa-apa saja yang boleh atau tidak dilakukan.
Seperti diawal usia dimana gusinya masih lembut, kerap saya bersihkan (gosok) pelan penuh kelembutan menggunakan kain kasa sehari dua kali, disetiap rutinitas mandi pagi atau sore. Saat membersihkan itu pula saya lakukan stimulasi reaksinya dengan mengajak berbicara atau sekedar bernyanyi riang agar kegiatan menggosok gigi dan mandi tidak membosankan.
Diusianya jelang enam bulan gigi seri mungil bagian depan, atas, dan bawah umbuh hampir bersamaan. Antara enam dan tujuh bulan jumlah gigi depan, atas dan bawahnya tumbuh sama rata, disusul oleh perumbuhan gigi-gigi seri geraham kiri kanan serta atas bawah berpasangan sesuai tahap perkembangannya. sejak awal tumbuh gigi seri (usia 6 bulan) Mutia sudah saya perkenalkan dengan berkunjung ke dokter gigi.
Seiring tumbuh kembangnya dan peningkatan kecerdasan maupun emosionlanya, suatu kali Mutia pernah menolak untuk gosok gigi. Rutinitas mandi pun jadi hanya ajang main air saja. Acap kali saya sodori sikat gigi khusus anak yang telah diberi sedikit pasta gigi khusus seusianya tentu, seketika ia mengatupkan kedua bibirnya membentuk sikap menolak sambil mengeleng-gelengkan kepala dan berceloteh pelo "tidak mau" khas versi bahasanya sendiri. Hal ini berlangsung hampir beberapa hari.
Pada suatau pagi saya kedapatan ide bagaimana membujuk Mutia guna menggosok gigi lagi. Ketika acara mandi pagi itu, agar ia mau membuka mulutnya untuk dibersihkan saya pegangi ia dengan sikat gigi kepunyaan saya tanpa pasta gigi. Saya arahkan sikat itu kemulut saya yang terbuka sambil berinstruksi menggunakan tanggan yang lain melakukan gerakan menggosok, seperti halnya ia pada tangan saya yang lain pun mulai menggosok giginya. Acara saling gosok gigi kali itu pun berjalan mulus, meskipun tak ayal baju yang saya kenakan harus ikut-ikutan kebasahan.
Jadilah hal itu sebagai momen ajang gosok gigi bersama, sampai saat ini kerap masih kami lakukan kala ia 'mogok' untuk sikat gigi. Setiap di akhir acara mandi, gosok gigipun menjadi sukses serta menyenangkan. Buat saya bisa melakukan kegiatan gosok gigi bersama di antara gelak tawa celoteh pelonya adalah juga saat indah berbagi kasih dengan si buah hati. Semoga melalui tulisan ini kelak Mutia bisa mengenangnya menjadi salah satu bagian dari sekian momen indah penuh kasih dalam hidupnya bersama Bunda. Las but not least Bunda kasih Mutia dalam peluk, cium dan do'a.(Jakarta,Nopember 2007)